EPICLAW

BERITA DAN HUKUM.

EPICLAW

BERITA DAN HUKUM.

EPICLAW

BERITA DAN HUKUM.

EPICLAW

BERITA DAN HUKUM.

EPICLAW

BERITA DAN HUKUM.

Konsep-Konsep perwalian


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Konsep Dasar Perwalian
Dalam KUH Perdata Pasal 330 ayat 3 disebutkan bahwa pengertian dari Perwalian itu, yaitu:
"Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan keenam bab ini".[1]
            Pada dasarny setiap orang mempunyai ‘kapi tidak setekuasaan berhak’ karena ia merupakan subjek hukum. Tetapi tidak setiap orang cakap melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Secara umum, orang-orang yang disebut meerderjarigheid dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah, kecuali jika undang-undang tidak tidak menentukan demikian. Misalnya, seorang pria yang telah genap mencapai umur 18 tahun sudah dianggap cakap untuk melangsungkan perkawinan.
            Batasan umur sesorang agar dianggap sebagai meerderjarig atau minderjaring tidak sama untuk setiap Negara. Menurut Pasal 330 KUH Perdata, terdapat tiga ketentuan penting yang berkaitan dengan status hukum anak apakah sebagai meerderjarig  atau minderjaring:
Ayat 1: batas antara  meerderjarigheid  atau minderjaringheid, yaitu 21 tahun, kecuali jika:
a.       Anak tersebut sudah kawin sebelum mencapai umur genap 21 tahaun
b.      Perlunakan (handleichting atau veniaaetatis) Pasal 419 KUH Perdata, dan selanjutnya.
Ayat 2: pembubaran perkawinan yang terjadi pada seseorang yang  belum mencapai umur genap 21 tahun, tidak berpengaruh terhadap status meerderjarigheid yang telah diperolehnya.
Ayat 3: mereka yang masih minderjarigheid dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua akan berada dibawah perwalian.[2]

B.     Asas-Asas Perwalian
Didalam sistem perwalian menurut KUH Perdata ada dikenal beberapa asas, yakni:
1.      Asas Tak Dapat Dibagi-bagi ( Ondeelbaarheid )
Pada tiap-tiap perwalian hanya ada satu wali, hal ini tercantum dalam pasal 331 KUH Perdata. Asas tak dapat dibagi-bagi ini mempunyai pengecualian dalam 2 hal, yaitu:
a.    Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama (Langs tlevendeouder), maka kalau ia kawin lagi suaminya menjadi medevoogd atau wali serta, pasal 351 KUH Perdata.
b.    Jika sampai ditunjuk pelaksanaan pengurusan (bewindvoerder) yang mengurus barang-barang minderjarige  diluar Indonesia didasarkan pasal 361 KUH Perdata.
2.      Asas Persetujuan Dari Keluarga.
Keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian. Dalam hal keluarga tidak ada maka tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu, sedang pihak keluarga kalau tidak datang sesudah  diadakan panggilan dapat dituntut berdasarkan pasal 524 KUH Perdata.

Hukum Perkawinan


BAB I
Pendahuluan

Perkawinan ialah suatu pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan, demikian pasal 26 Burgerlijk Wetboek.
Suami istri harus setia satu sama lain, bantu-membantu,berdiam bersama-sama, saling memberikan nafkah dan bersama-sama mendidik anak-anak.
Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.
Untuk melindungi ustri terhadap kekuasaan si suami yang sangat luas itu atas kekayaan bersama serta kekayaan pribadi si isteri, undang-undang memberikan pada si isteri suatu hak untuk meminta pada hakim supaya diadakan pemisahan kekayaan dengan tetap berlangsungnya.
Pemisahan kekayaan dapat diakhiri ataspersetujuan kedua belah pihak dengan meletakan persetujuan itu di dalam suatu akte notaris, yang harus diumumkan seperti yang ditentukan untuk pengumuman hakim dalam mengadakan pemisahan itu.

Bab II
Pembahasan
Hukum Perkawinan

1.      Arti dan syarat-syarat perkawinan
Perkawinan ialah suatu pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan, demikian pasal 26 Burgerlijk Wetboek.
Suatu perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampaingkan. Larangan ini termasuk ketertiban umum, artinya apabila dilanggar  selalu diancam dengan pembatalan perkawinan yang ilangsungkan itu.
Syarat-syarat untuk dapat sahnya perkawinan, yaitu :
a.       Kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam undang-undang, yaitu untuk seorang lelaki 18 tahun dan perempuan 15 tahun;
b.      Harus ada persetujuan yang bebas dari kedua belah pihak;
c.       Untuk seorang perempuan yang sudah pernah kawin harus lewat 300 hari dahulu sesudahnya putusan perkawinan pertamanya;
d.      Tidak adanya larangan alam undang-undang bagi kedua belah pihak;
e.       Untuk pihak yang masih dibawah umur , harus ada izin dari ornag tua atau wali.
Tentang hal larangan untuk kawin dapat diterangkan, bahwa seorang tidak diperbolehkan kawin dengan saudaranya, meskipun saudara tiri, seorang tidak diperbolehkan kawin dengan iparnya, seorang paman dilarang kawin dengan keponakannya dan sebagainya.
Tentang hal izin dapat dapat diterangkan bahwa kedua orang tua harus memberikan izin, atau ada kata sepakat antara ayah dan ibu masing-masing pihak. Jikalau ada wali, wali inipun harus memberikan izin, dan kalau wali ini sendiri hendak hendak kawin dengan anak yang dibawah pengawasannya, harus ada izin dari wali pengawas (toeziende voogd). Kalau kedua orang tua sudah meninggal, yang membrikan izin ialah kakek-nenek., baik dari pihak ayah maupun ibu, sedangkan izin wali pun masih tetap diperlukan.
Untuk anak-anak yang diluar perkawinan, tetapi diakui oleh kedua orang tuanya, berlaku pokok aturan yang sama dengan pemberian izin, kecuali jika tidak terdapat kata sepakat antara kedua orang tua, hakim dapat iminta campur tangan, dan kakek-nenek tidak menggantikan orang tua dalam hal memberikan izin.
Untuk anak yang susah dewasa, tetapi belum berumur 30 tahun masih juga diperlukan izin orang tuanya. Tetapi kalau mereka ini tidak mau memberikan izinnya, anak dapat memintanya dengan perantara hakim. Dalam waktu tiga minggu, hakim akan memanggil orang tua dan anak untuk didengar dalam sidang tertutup. Jikalau orang tua tidak menghadap, perkawinan baru dapat dilangsungkan setelah lewat tiga bulan.
Sebelum perkawinan dilangsungkan, harus dilakukan terlebih dahulu :
a.       Pemberitahuan (aangifte) tentang kehendak akan kawin kepada Pegawai Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgerlijk Stand), yaitu pegawai yang nantinya akan melangsungkan pernikahan;
b.      Pengumuman (afkondiging) oleh pegawai tersebut, tentang akan dilangsungkan pernikahan itu.
Kepada beberapa orang oleh undang-undang diberikan hak untuk mencegah atau menahan (stuiten) dilangsukannya pernikahan, yaitu:
a.       Kepada suami atau istri serta anak-anak dari sesuatu pihak yang kan hendak kawin;
b.      Kepada orang tua kedua belah pihak;
c.       Oleh jaksa (Officier van Justitie)
Seorang suami dapat menghalang-halangi perkawinan yang kedua dari istrinya dan sebaliknya, sedangkan anak pun dapat mencegah perkawinan yang kedua dari ayah dan ibunya. Orang tua dapat mencegah pernikahan, jikalau anak-anaknya belum mendapatkan izin dari mereka. Juga diperkenankan bahwa setelah memberikan izin barulah mereka mengetahui yang calon menantunya telah ditaruh di bawah curatele.
Kepada Jaksa diberikan hak untuk mencegah dilangsungkannya perkawinan yang sekiranya akan melanggar larangan-larangan yang bersifat menjaga ketertiban umum.
Caranya mencegah perkawinan itu ialah dengan memasukkan perlawanan kepada Hakim. Pegawai Pencatatan Sipil lalu tidak boleh melangsungkan pernikahan sebelum ia menerima putusan Hakim.
Surat-surat yang harus diserahkan kepada Pegawai Pencatatan Sipil agar ia dapat melangsungkan pernikahan, yaitu :

Hukum Keluarga


II.            RUMUSAN MASALAH
Makalah ini akan membahas tentang:
A.     Pengertian hukum keluarga
B.     Kekuasaan orang tua
C.     Perwalian
D.     Pengampuan
E.      Adopsi
F.      Keadaan tidak hadir

III.            Pembahasan
A.       Pengertian hukum keluarga
Istilah hukumkeluarga berasal dari terjemahan Familierecht  ( Belanda ) atau law of familie (Inggris). Dalam konsep Ali Afandi,[1] hukum keluarga diartikan sebagaikeseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah, dan kekeluargan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua,perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir).
Ada dua hal penting dari konsep Ali Afandi tersebut, bahwa hukum keluarga mengatur hubungan yang berkaitan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan. Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Sedangkan kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dengan istri (suaminya).[2]
                                    Tahir Mahmud, mengartikan hukum keluarga sebagai prinsip-prinsip hukum yang diterangkan berdasarkan ketaatan beragama berkaitan dengan hal-hal yang secara umum diyakini memiliki aspek religius menyangkut peraturan keluarga, perkawinan, perceraian, hubungan dalam keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin, perwalian, dan lain-lain.[3]
                                    Definisi Tahir Mahmud tersebut, pada dasarnya mengkaji dua sisi, yaitu tentang prinsip hukum dan ruang lingkup hukum. Sedangkan ruang lingkup kajian hukum keluarga meliputi peraturan keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin, perwalian, dan lain-lain. Apabila diperhatikan, definisi ini terlalu luas, karena menyangkut warisan, yang dalam hukum perdata BW merupakan bagian dari hukum benda.
                                    Dalam definisi ini setidaknya memuat dua hal penting yaitu, kaidah hukum dan substansi (ruang lingkup) hukum. Kaidah hukum meliputi hukum keluarga tertulis dan hukum keluarga tidak tertulis. Hukum keluarga tertulis adalah  kaidah-kaidah hukum yang bersumber daru undang-undang, traktat, dan yurisprudensi. Hukum keluarga tidak tertulis merupakan kaidah-kaidah hukum keluarga yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, mamari dalam masyarakat sasak. Adapun ruang lingkup yang menjadi kajian hukum keluarga meliputi perkawinan, perceraian, harta benda dalam perkawinan, kekuasaan orang tua, pengampuan, dan perwalian.
                        Berdasarkan definisi tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum keluarga pada dasarnya merupakan keseluruhan kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan hukum yang timbul dari ikatan keluarga yang meliputi:
a)      Peraturan perkawinan dengan segala hal yang lahir dari perkawinan
b)      Peraturan perceraian
c)      Peraturan kekuasaan orang tua
d)      Peraturan kedudukan anak
e)      Peraturan pengampuan (curatele) dan
f)       Peraturan perwlian (voogdij).
Hukum perdata barat mengandung prinsip bahwa hukum keluarga pada berbagai ketentuannya pada hakikatnya erat hubungannya dengan tata tertib umum. Dengan demikian maka segala tindakan yang bertentangan dengan ketentuan itu adalah batal demi hukum.
Dalam konsepsi hukum pedata Indonesia telah diadakan pernyataan bahwa Hukum Perdata Barat (BW) tidak lagi dianggap sebagai undang-undang yang mutlak berlaku. Ada beberapa pertimbangan yang melandasi ketentuan tersebut antara lain:
1)      Ada tendensi bahwa BW mengaju pada alam liberalisme, sehingga perlu ditinggalkan dan menuju alam sosialisme Indonesia.
2)      Maklumat Mahkamah Agung tentang tidak berlakunya sementara ketentuan karena tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman dan bersifat diskriminatif.
3)      Menjadikan jati diri bangsa Indonesia yang pliralitis, sehingga berbeda jauh dengan kondisi alam barat. Misalnya, dengan keberlakuan hukum islam dan hukum adat.[4]
Pada dasanya sumber hukum keluarga dapar dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumber hukum keluarga tertulis dan sumber hukum perdata  tidak tertulis. Sumber hukum keluarga tidak tertulis merupakan norma-norma hukum yang tumbuh dan berkembang serta ditaati oleh sebagian besar masyarakat atau suku bangsa yang hidup di wilayah Indonesia. Sedangkan sumber hukum keluarga tertulis berasal dari berbagai peraturan perundang-udangan, yurisprudensi, dan perjanjian (traktat).
Sumber hukum keluarga tertulis yang menjadi rujukan di Indonesia meliputi: (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek); (2) Peraturan Perkawinan Campuran (Regelijk op de Gemengdebuwelijk), Stb. 1898 – 158; (3) Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen Jawa, Minahasa, dan Ambon (Huwelijke Ordonnnantie Christen Indonesiers), Stb. 1933 -74; (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak,dan Rujuk (beragama Islam); (5) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (6) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Perturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (7) Peraturan Pemeritah Nomor 10 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai  Negeri Sipil; dan (8) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam.[5]

Saksi menurut hukum Yang ada di Indonesia



Secara umum definisi saksi telah tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang No 8 Tahun 1981 dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP yang menyatakan bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Ketentuan tersebut secara spesifik kembali diatur dalam RUU PERLINDUNGAN SAKSI (VERSI KOALISI LSM) dalam Pasal 1 angka 1 Saksi adalah seseorang yang menyampaikan laporan dan atau orang yang dapat memberikan keterangan dalam proses penyelesaian tindak pidana berkenaan dengan peristiwa hukum yang ia dengar, lihat dan alami sendiri dan atau orang yang memiliki keahlian khusus tentang pengetahuan tertentu guna kepentingan penyelesaian tindak pidana.
Hak-hak saksi dalam KUHAP
1. Hak untuk diperiksa tanpa hadirnya terdakwa pada saat saksi diperiksa (pasal 173 KUHAP)
2. Hak untuk mendapatkan penterjemah atas saksi yang tidak paham bahasa indonesia (pasal 177 ayat 1 KUHAP)
3. Hak saksi yang bisu atau tuli dan tidak bisa menulis untuk mendapatkan penerjemah (pasal 178 ayat 1 KUHAP)

SANGAT PENTINGNYA MEMILIKI HUKUM NASIONAL




Di mana ada masyarakat di sana ada hukum (ubi societas ibi ius). Hukum ada pada setiap masyarakat, kapan pun, di manapun, dan bagaimanapun keadaan masyarakat tersebut, baik secara disengaja ataupun tidak disengaja, baik secara tertulis ataupun tidak tertulis. Artinya eksistensi hukum bersifat sangat universal, terlepas dari keadaan hukum itu sendiri sangat dipengaruhi oleh corak dan warna masyarakatnya (hukum juga memiliki sifat khas, tergantung dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam sebuah komunitas). Oleh karena hukum mengatur tingkah laku masyarakat agar dapat tercipta kehidupan bermasyarakat yang aman, tentram dan adil, maka hukum mengatur berbagai kegiatan masyarakat, mulai dari kegiatan bersosialisasi, berpolitik, berusaha, bersaing, berkereasi, dan sebagainya.
Hukum Indonesia asalnya bukan murni buatan bangsa Indonesia sendiri, melainkan dipengaruhi oleh hukum adat yang sudah ada sejak dahulu kala,

MASYARAKAT-MASYARAKAT TANPA HUKUM



Manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial ia akan selau berinteraksi dengan sesama manusia. Dari hasil hubungan-hubungan dan interaksi-interaksi dengan sesama manusia itu maka terbentuklah suatu kelompok sosial yaitu masyarakat. Interaksi dalam masyarakat ada 2 yaitu interaksi yang bersifat positif dan interaksi yang bersifat negatif. Interaksi yang positif tentu akan menghasilkan suatu hal yang positif pula bagi masyarakat. Sedangkan interaksi yang negatif akan menghasilkan suatu hal yang negatif pula. Hal ini dapat diukur dari cara berpikir masyarakat, cara menilai masyarakat mana yang termasuk suatu hal itu positif atau baik, ataupun negatif atau buruk. Apabila dalam suatu masyarakat sudah tercipta suatu nilai tertentu yang sesuai dengan keinginan dan tujuan masyarakat itu, maka dengan sendirinya akan terbentuk suatu norma, yaitu kumpulan dari berbagai nilai, sesuatu yang dianggap baik atau buruk, yang akan mengatur kehidupan masyarakat secara otomatis.
Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap individu akan berusaha untuk bisa bersosialisasi dengan baik dalam masyarakat. Individu tentu ingin agar keberadaannya diakui dan diterima dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat masuk dan hidup dengan baik dalam suatu masyarakat tentu diperlukan suatu adaptasi atau penyesuaian dari individu agar sesuai dengan tata cara atau norma dalam masyarakat tersebut. Dalam suatu masyarakat itu tentu menganut suatu nilai tertentu yang dipandang sebagai suatu hal terbaik dalam kehidupan bermasyarakat. Dan apabila ada individu ataupun suatu kelompok yang ingin masuk dalam masyarakat tentu norma itu akan menyeleksi dengan sendirinya mana yang bisa masuk dalam masyarakat itu. Selain itu norma tersebut juga akan menguji apakah suatu individu atau kelompok itu bertahan dalam kehidupan masyarakat tersebut.

  Norma yang saat ini berada sudah berkembang lebih luas lagi. Bahkan apabila ada suatu norma yang tidak resmi, kini mulai dikukuhkan sebagai aturan yang tertulis sebagai suatu cara untuk mengendalikan suatu perilaku individu dalam masyarakat agar tercapai suatu masyarakat yang baik. Norma yang berlaku juga dibagi berdasarkan kekuatannya masing-masing dalam pemberian sanksi. Norma yang paling dikenal sebagai aturan tertulis yang memiliki kekuatan dalam pemberian sanksi secara tegas adalah norma hukum.

  Suatu aturan dibuat untuk mengatur individu agar sesuai dengan harapan masyarakat. Walaupun suatu aturan itu dibuat sebenarnya seperti penjelasan di awal, norma atau aturan itu sudah terbentuk dengan sendirinya dalam suatu masyarakat sebagai suatu ukuran. Jadi sebenarnya suatu aturan hukum itu pun sudah sudah ada dan melekat dalam setiap individu. Namun biasanya hal itu diacuhkan oleh suatu individu. Jadi hukum tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Karena hukum itu membutuhkan masyarakat dan masyarakat membutuhkan hukum. Apabila hukum tanpa masyarakat maka untuk apa hukum itu dibuat.

  Begitu pentingnya hukum, jadi apabila masyarakat tanpa hukum apa jadinya suatu masyarakat itu. Setiap individu akan bertindak sesuai dengan keinginan masing-masing tanpa peduli orang lain dan kepentingan orang lain. Sedangkan bila semua orang saling tidak peduli akan orang lain terlebih dengan orang di sekitarnya maka tidak akan terjadi kontak atau interaksi. Apabila tidak terjadi kontak atau interaksi maka tidak akan terbentuk suatu masyarakat. Jadi masyarakat tanpa hukum sangat tidak mungkin terjadi apalagi hukum tanpa masyarakat. Karena dari hukum pun masyarakat terbentuk dan dari masyarakat pula hukum itu terbentuk.
Apabila ada suatu negara yang tidak punya sistem hukum resmi sebenarnya disanapun berlaku hukum non resmi, atau suatu aturan tersendiri yang dibuat oleh masyarakat di dalamnya, seperti hukum rimba, hukum laut, hukum alam, hukum Tuhan atau sejenisnya. Hukum yang berlaku bagi mereka adalah hukum yang dibuat mereka tergantung dari keinginan dan tujuan masyarakat yang ada disana. Jadi suatu hukum pun telah terwujud disana. Dan hukum itu secara tidak sadar akanberlaku dalam masyarakat tersebut tanpa adnya persetujuan secara resmi. Jadi sebenarnya negara itu memiliki hukum.
  Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas adalah hukum itu ada dan terbentuk dari dalam masyarakat dan dari masyarakat itu akan terbentuk suatu interaksi dan sosialisasi yang akan menghasilkan suatu hukum. Jadi hukum itu dari masyarakat dan masyarakatlah yang membentuk hukum. Apabila ada suatu masyarakat ataupun suatu negara yang mengakui tanpa hukum, itu sangat mustahil. Karena seperti penjelasan diatas bahwa hukum itu tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dan begitu pula sebaliknya. Kedua hal ini benar-benar saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain dalam membentuk suatu kehidupan bermasyarakat. Dan yang pasti walaupun dalam suatu masyarakat tidak ada aturan yang resmi, selalu ada hukum dalam kehidupan mereka. Masyarakat bisa tanpa aturan namun masyarakat tidak bisa tanpa hukum

N U Dukung SANTET Masuk KUHP




JAKARTA: Nahdlatul Ulama melalui badan otonomnya Pencak Silat Pagar Nusa, mendukung dimasukkannya kejahatan santet dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang drafnya sudah masuk di Komisi III DPR.

“Kalau ada ancaman pidananya, diharapkan orang akan berpikir ulang melakukan santet,” kata Ketua Pimpinan Pusat Pencak Silat NU Pagar Nusa, KH Abdussalam Sokhib di Jakarta, Rabu (20/3).

Namun, kiai yang akrab disapa Gus Salam itu mengingatkan bahwa dibutuhkan kehati-hatian dalam pembahasan persoalan santet tersebut.

Berbeda dengan pihak yang menolak dimasukkannya kejahatan santet dalam RUU KUHP dengan alasan karena kejahatan itu sulit dibuktikan, Gus Salam justru punya pendapat berbeda. Menurut dia, kejahatan santet bisa dibuktikan.