Selamat Datang Selamat Membaca " mimpi dan cita-cita adalah hal yang harus direncanakan sekalipun itu mustahil"

subscrabe " mampir dong ke channel saya"

Kisah Cinta Anak Jalanan : Galih Di pundak mu kutaruh Harapan ku




Derasnya hujan menyiram tubuhku di jalanan. Pakaian lusuh ini sudah melekat berminggu-minggu. Karung yang kupikul belum penuh, semangatku masih utuh, masih berkobar untuk menyelesaikan tugasku hari ini. Pesan Mamak (panggilanku pada ibuku) selalu terngiang di telingaku.

“Jangan berhenti bermimpi selama malam masih bersedia mengantarmu tidur! Jangan lelah melangkah karna Tuhan melihat setiap usahamu nak… kita memang orang kecil, tapi kita punya semangat besar untuk meraih masa depan mengubah nasib orang-orang pinggiran seperti kita ini! Kamu anak kebangganku. Di pundakmu kutaruh harapanku”.

Itulah pesan Mamak pagi tadi. Api masih membara di dadaku. Langkahku makin cepat. Tak peduli hujan atau petir di depanku, aku hanya tahu satu hal, jika karung ini penuh maka keluargaku bisa makan. Mamakku… adikku.. akan bisa tidur dengan perut kenyang, harapan kami akan bisa selalu tumbuh, dan yang pasti aku bisa memasukkan selembar uang dua ribuan ke dalam celengan jagoku yang kubeli tiga bulan yang lalu sebagai satu-satunya tabungan masa depan kami.



Kilauan gelas plastik menggoda pandanganku, sontak aku berbinar, ku tengok kiri kanan memastikan jalanan cukup sepi untuk kusebrangi. Aku kini berlari, menyambut gelas air mineral yang menumpuk menjadi sampah tepi jalan raya yang merusak pemandangan bagi orang-orang pada umumnya. Tapi buatku itu lain cerita. Justru pemandangan seperti itulah yang selalu kupanjatkan pada Tuhan. Sumber penghasilanku melimpah. Bukannya karena aku suka jalanan penuh sampah, tapi aku hanya tahu inilah cara kami menyambung nafas dan bisa kembali bersekolah.


Hujan mulai berhenti. Menyisakan semilir angin yang berebut menusuk tulang. Gigiku gemerutuk. Dingin. Dingin sekali Tuhan… kedua tanganku kusilangkan ke dada. Lumayan membantuku untuk mendapatkan sedikit rasa hangat. Aku duduk di atas pot besar dibawah pohon beringin yang cukup rindang. Karungku sudah penuh. Aku sudah tak sabar menukarnya dengan 3 (tiga) bungkus nasi sayur dan beberapa lembar uang. Kalau aku hitung-hitung, kira-kira hari ini aku akan dapat uang 5 (lima) ribu. Siang tadi hujan begitu lebat, jadi sainganku tidak banyak. Dan gelas plastik yang kudapat lumanyan berlimpah. Ahhh… senyumku tak bisa kutahan. Aku begitu senang..

“Nah ini buat kamu Galih… tiga bungkus nasi sayur seperti biasa dan uang Rp. 4.800; (empat ribu delapan ratus rupiah) ya..”

Pak Jarwo menyerakan bungkusan tas kresek hitam padaku dengan tangan kanannya, sedangkan yang kiri menyodorkan empat lembar uang seribuan, satu keping uang lima ratusan, dan tiga keping uang seratusan.

Mataku melotot girang. Hatiku berdebar melihatnya. Dengan cepat kutangkap pemberiannya. Aku berlari sambil berteriak-teriak mengucapkan terimakasih padanya. Kudengar pak jarwo menjawabku dengan teriakan juga menyuruhku hati-hati di jalan dan bekerja lebih bagus lagi esok hari. Aku setengah melompat. Serasa mendapat harta dari langit. Aku senang sekali hari ini. Aku bangga akan menyerahkan uang ini nanti pada Mamakku.

…..

Sesampainya di rumah, aku tertegun sejenak.banyak orang di sana. Kulihat ada beberapa lelaki tegap berseragam mondar-mandir di sekitar tempat tinggal kami. Tak nampak adik perempuanku Mayang. Mamakku…? di mana mereka? Rumahku? Rumah kardusku? Di mana perginya….? dari belakang Tono teman bermainku memanggil namaku.

“Galih…! Galih…!”

Aku menoleh, nampak Tono terengah-engah menghampiriku. Wajahnya tidak seperti biasa, ada panik dalam seruannya, ada cemas di wajahnya.

“Ada apa? Apa yang terjadi? Kemana rumahkuTon? Mayang? Mamak ? Siapa mereka itu?”

Tanganku menunjuk-nunjuk ke arah puing-puing tempat tinggalku dan laki-laki berseragam di sekitarnya.

Tono memegang bahuku, dia mencoba mengatur nafasnya. Dengan suara yang masih parau ia menjelaskan sesuatu.

“Mereka itu - petugas ketertiban - … kata bapak – engh- heh- mereka mau menertibkan- wilayah ini… heh- engh-… jadi gubuk-gubuk kita-engh- di-rubuhkan-“

Aku tidak paham… dahiku berkerut untuk berfikir dan mencerna penjelasannya yang terpotong-potong. Aku menatap dalam. Gubuk itu satu-satunya rumah kami. Jika durubuhkan, lalu kami bagaimana? Mayang….? Mamak…? ah! Aku jadi ingat mereka. Segera kutanyakan pada toni tentang keberadaan mereka.

“Kapan ini terjadi? Dimana Mayang? Mamakku juga? Di mana mereka Ton….? tadi hujan sangat lebat! Mereka berteduh di mana Toon…? Mamakku sedang sakit! Belakangan ini dia sering demam! Bagaimana keadaannya? Toni… di mana mereka?”

Toni membimbingku menuju tenda darurat. Teman-temanku rupanya berada di sana, Mayang juga. Mamak? Mataku mencari tubuh kurusnya. Mataku berkeliling menyapu tenda sepanjang lima meter itu. Tidak ada! Mamak tidak ada di sana! Dimana Mamak?! Pak Sugi ayah Toni mendekatiku, menyuruhku duduk dan menyodorkan teh hangat padaku. Aku tidak mau. Aku ingat Mamakku.

“Minumlah dulu Lih… nanti kuberi tahu di mana Mamakmu…”

Bujuk pak Sugi padaku. Akupun meminumnya mendengar janjinya memberitahuku tentang keberadaan Mamak. Segelas langsung habis kuminum. Tak sabar mengetahui nasib Mamakku.

“Sudah.. Sudah kuminum habis. Di mana Mamakku Pakde?”

“Hemmh….” pak Sugi tersenyum tipis

“Mamakmu di tempat yang aman… nanti kamu tinggal sama pakde ya… Mayang juga ikut pakde nanti… Tuhan selau memilihkan jalan yang terbaik Lih… dan pilihannya tidak pernah salah… ”

Aku tak mengerti. Kenapa pakde bicara begitu? Aku menggeleng tak mengerti. Pakde menatapku kuat-kuat. Ia menggandeng tanganku. Mengajakku ke suatu tempat. Mayang mengikutiku, ia masih menggendong boneka dekil kesayangannya. Ia sangat kurus dan kecil untuk ukuran anak tiga tahun. Sedangkan Tono ada bersamaku, di sebelahku menunduk lesu. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana, itu gayanya yang khas setiap menyembunyikan sesuatu. Ya… ada yang disembunyikannya dariku… ada apa ini?

Kurang lebih delapan menit. Akhirnya kami sampai di tempat ini. Kugenggam tangan Mayang erat. Ia tersenyum manis padaku. Belum mengerti dengan keadaan ini. Di tempat sunyi ini air mataku menetes tak terbendung lagi. Isakanku memandang gundukan tanah di depanku. Mamak… di tempat ini rupanya kamu Mak… Tempat yang kini menjadi tujuan utamaku tiap pulang sekolah atau mencari gelas plastik. Tempat yang begitu sepi. Mamakku sekarang tinggal di sini. Sendiri di kamarnya. Di dalam sana. Tidak gelapkah di sana Mak? Tidakkah kau ingin melihatku menjadi orang hebat Mak.. melihat Mayang tumbuh besar Mak… Aku tak lagi bisa melihat wajah teduhmu dan juga matamu yang selalu bercahaya penuh harapan. Mamak… kini ia pergi. Karena sock berat saat terjadi penggusuran, Mamakku terserang jantung mendadak dan tak bisa diselamatkan. Mamak… meski engkau telah tiada namun pesan-pesanmu selalu hidup dan ku ingat. Di sini Mak… di hati dan jiwaku… selamat jalan Mak.. semoga aku bisa memenuhi harapanmu untuk menyekolahkan Mayang hingga menjadi seperti yang kau impikan…
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2013/01/12/kisah-cinta-anak-jalanan-galih-di-pundakmu-kutaruh-harapanku-523777.html

No comments:

Post a Comment