Mendidik Anak Tanpa Kekerasan
TAK sabar dengan kenakalan si buah hati, banyak orangtua menggunakan cara kekerasan untuk menanganinya. Dalam jangka pendek, cara ini efektif, tetapi efek jangka panjangnya anak akan menjadi kasar.
Si kecil Andi,7, menangis di depan pintu rumahnya. Air matanya mengalir seakan tanpa henti. Sesekali dia memanggil ibu dan ayahnya agar membukakan pintu untuknya. Namun, suaranya tidak digubris sama sekali. Hampir satu jam Andi berdiri, setelah kemudian pintu rumahnya terbuka. Sang ayah menyuruhnya masuk. Namun, tetap dengan wajah garang yang masih menyisakan kemarahan.
Apa yang dilakukan Andi sehingga orangtuanya sangat marah? Ternyata Andi bermain bola di dalam rumah, hingga memecahkan keramik kesayangan ibunya. Akhirnya Andi mendapat sebuah pukulan dan dibiarkan diam di depan pintu rumah selama lebih dari setengah jam.
Sebagai orangtua, marah kepada anak memang merupakan hal yang lumrah. Namun, jika telah disertai dengan pemukulan, apalagi sering dilakukan, akan berdampak buruk pada perkembangan mental anak dan akan membekas hingga mereka dewasa nanti. Di Indonesia, memukul atau melakukan kekerasan fisik kepada anak yang berbuat salah, masih dianggap wajar dan normal-normal saja.
Padahal menghukum anak bisa dilakukan dengan cara lain, misalnya dengan memotong uang saku atau melarang mereka bermain dengan teman-temannya.
Dalam penelitian dengan target 36.000 anak yang mendapatkan hukuman fisik di Amerika, disimpulkan bahwa hukuman fisik memiliki manfaat yaitu anak akan mematuhi perintah orangtua untuk sementara. Namun dalam jangka panjang, risiko berikut menjadi semakin besar, yaitu anak cenderung menjadi kasar bahkan agresif. Anak juga bisa menjadi sosok yang antisosial. Bahkan, pemukulan yang dilakukan bisa membuat anak menderita kelainan jiwa karena merasa tertekan.
Di Jepang beberapa waktu lalu, telah pula dibuktikan jika anak dibesarkan dengan hukuman fisik, saat beranjak remaja akan terlihat keterlambatan pada kata-kata dan perkembangan sosial. Bahkan, Osaka Report yang menyelidiki hubungan lingkungan dan perkembangan mental anak-anak adalah kecenderungan anak-anak untuk menutup diri pada orang lain dan tidak percaya diri.
"Walaupun masih anak-anak, jika dipukul anak, akan merasa harga dirinya terlukai. Apalagi jika sering dipukul, anak akan tumbuh menjadi sosok yang cenderung pendiam," kata psikolog lulusan Universitas Indonesia (UI), Dr Syafriani Hasan, beberapa waktu lalu.
Agar kehidupan psikologis anak tidak terganggu saat mereka beranjak dewasa, Syafriani mengaku orangtua harus mencoba untuk tidak memaksakan hukuman fisik kepada anak dengan cara yang kasar. "Sekarang sedang dikembangkan cara pengganti kekerasan, yang lebih efektif dan sedikit risiko. Yang harus dilakukan orangtua ketika mendapati anak yang nakal adalah dengan mengawalinya dengan nasihat dan tetap menjaga kontak mata," sebutnya.
Lebih efektif mengatakan perintah dengan suara yang tenang dan mantap daripada membentak dengan emosional. Bukankah kita pun pada masa kecil lebih bereaksi ketika ibu berkata dengan suara mantap, "Kerjakan..." daripada ketika ia berteriak-teriak histeris?
Setelah memberikan peringatan tentang kapan harus dimulai pekerjaannya, berikan petunjuk tegas, jika ia mematuhi perintah, pujilah. Jika tidak mematuhi, ulangi petunjuk yang sama. Jika diberikan petunjuk yang sama pun anak tidak mematuhi, acuhkan dulu sementara, dan tunggulah. Jika selama didiamkan dia mulai mengerjakan, segera berikan pujian. Jika selama didiamkan dia tidak mengerjakan, lakukan langkah berikutnya, yaitu menyetrap atau dikenal dengan istilah time out.
Time out adalah hukuman yang bisa diterapkan pada usia 3 tahun sampai usia kelas rendah SD, pada jangka waktu tertentu, anak harus berada di tempat tertentu. Diberlakukan saat anak melakukan hal yang sulit dimaafkan. Jangka waktu tertentu itu yakni secara umum, sama dengan usia anak. Misalnya pada usia 3 tahun, 3 menit. Usia 5 tahun,5 menit.
"Pasanglah timer di ruang time out. Jika anak berhasil melaluinya, jangan sungkan-sungkan memuji," tutur psikolog berjilbab tersebut.
Lebih lanjut ditambahkannya, anak-anak sebenarnya adalah jiwa yang juga memiliki naluri untuk melakukan sesuatu dengan benar, baik dan sesuai dengan apa yang diharapkan orangtua. Namun, cara orangtua yang salah dalam menerapkan pendidikan di rumah, terkadang membuat anak tidak terkendali. "Ketegasan kadang sangat dibutuhkan. Orangtua boleh tegas pada anak asalkan jangan memukul," kata dia lagi.
Senada dengan Syafriani Hasan, pengajar TK Kasih Bunda Jakarta Abdul Razak mengaku, anak-anak yang sering mendapatkan hukuman fisik di rumah, ketika berada di sekolah akan terlihat sangat berbeda dibandingkan dengan anak lain. "Mereka cenderung murung namun bisa agresif bila tersinggung atau ingin mendapatkan benda yang mereka inginkan, mereka juga lebih egois," sebutnya.
Memang untuk mendidik anak tanpa kekerasan, butuh usaha keras dan harus dilakukan secara benar. Mendidik tanpa kekerasan bukan berarti anak dibiarkan begitu saja bila melakukan kesalahan. Penegakan disiplin sangat penting bagi anak-anak. Malah tak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Untuk menegakkan disiplin, pemberian sanksi mutlak diberikan. Hanya saja, pilih cara yang baik dan jangan gunakan kekerasan.
Sumber : http://lifestyle.okezone.com/read/2009/06/18/196/230566/mendidik-anak-tanpa-kekerasan
No comments:
Post a Comment